
JAMBI, Hari Ini - Di sudut Desa Jambi Tulo, Kecamatan Marosebo, Kabupaten Muarojambi, aroma kopi dan nira segar masih menyatu dalam sajian kopi tuak. Namun, tak banyak yang tahu bahwa di balik kesegaran itu, tersembunyi kekhawatiran akan kepunahan tradisi yang telah bertahan selama lebih dari satu abad.
"Tidak banyak orang yang bisa menyadap air nira dan jumlah batang enau pun semakin langka," kata Adi Ismanto, pendiri Gerakan Muarojambi Bersakat (GMB), saat ditemui di rumahnya, Senin (16/6/2025).
Adi mengungkapkan, generasi yang memahami teknik menyadap air nira semakin sepuh. Mereka dapat dihitung dengan jari, dan keahlian yang diwariskan secara turun-temurun itu tak mudah diteruskan kepada generasi muda.
Ancaman pun semakin nyata. Batang enau—sumber utama nira—semakin sulit ditemukan. Perubahan pola perkebunan warga yang beralih ke kelapa sawit dan karet mempersempit ruang hidup pohon bernama ilmiah arenga pinnata itu.
"Kini jumlahnya hanya seratusan di alam," ujar Adi.
Padahal, kopi tuak bukan sekadar racikan minuman. Ia adalah hasil dari ketelatenan dan keahlian: dari menyadap nira secara manual, memasaknya dengan kayu bakar, hingga mencampurkannya dengan takaran bubuk kopi yang pas agar manis pahitnya seimbang.
"Air nira pengganti gula. Dulu, saat masa penjajahan Belanda, rakyat susah dapat gula. Maka leluhur pakai air nira yang baru disadap untuk kopi," katanya.
Namun, air nira tak bisa disimpan lama. Rasanya cepat berubah. Hanya dalam hitungan jam, nira yang tidak segera dimasak akan menjadi asam. Inilah mengapa kopi tuak hanya bisa disajikan dalam waktu-waktu tertentu.
"Hanya hitungan jam air nira bisa digunakan bahan kopi tuak. Kalau disimpan lama-lama rasanya berubah," ujar Adi.
Satu cangkir kopi tuak biasanya disajikan dengan singkong rebus. Namun, kini singkong pun jarang ditanam.
“Setelah kopi tuak dimasak, maka disajikan dengan singkong rebus. Sekarang jarang orang menanam singkong,” tambahnya.
Pohon enau sendiri menyimpan banyak manfaat. Akar sampai ujung daun berguna untuk pangan, obat, minuman, hingga kerajinan tangan. "Lidi untuk kerajinan piring, ijuknya bisa jadi atap rumah, buahnya bisa dimakan, air niranya bisa jadi gula dan bahan meracik kopi tuak," kata Adi.
Bagi Adi, pelestarian tak bisa hanya dibebankan kepada masyarakat. Negara harus hadir. "Kalau sudah urusan pelestarian, memang pemerintah yang harus turun tangan, bisa masuk ke sekolah atau kampus," ujarnya.
Di desa itu pula, seorang pawang nira bernama Saifudin masih setia memanjat pohon enau setinggi lebih dari 10 meter dengan tangga dari batang bambu. Tapi sebelum mengambil setetes pun, ia memulai dengan sebait mantra:
"Anak itik bertali rumbai. Sudah rumbai raut-an pula. Aek setitik menjadi sungai. Sudah sungai menjadi lautan."
"Artinya tidak putus-putus," ujar Saifudin sambil tersenyum.
Mantra itu diyakini sebagai doa, bukan hanya agar sadapan melimpah, tapi juga untuk keselamatan diri. Proses menyadap pun penuh perhatian. Dari *ngual* atau memukul manggar secara keliling, hingga mengayunnya 50 kali dengan lembut, seperti menimang bayi.
“Proses mengayun harus lemah lembut, ibarat menimang bayi yang penuh kasih sayang,” kata Saifudin.
Setelah itu, pangkal manggar dipotong dan air nira menetes perlahan. Tetes demi tetes ditampung dalam tabang—wadah bambu jenis mayan—yang diameternya sekitar lima centimeter.
Tak heran jika secangkir kopi tuak menyimpan rasa perjuangan. Kini, perjuangan itu berada di persimpangan jalan: bertahan atau hilang ditelan zaman.
Di tengah kekhawatiran, harapan tetap menyala. Lokasi Jambi Tulo yang dekat dengan Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Candi Muarojambi, membuka peluang promosi yang lebih luas. Dengan sinergi masyarakat dan pemerintah, kopi tuak bisa tetap hidup, bukan hanya sebagai warisan, tapi juga sebagai cerita yang terus mengalir dari generasi ke generasi.
0 komentar:
Posting Komentar